"Sekarang? Ini sudah hampir jam sepuluh malam... Ya, baiklah. Aku usahakan kurang dari satu jam sampai di rumah... Mm, eomeoni. Aku mengerti."
Joong-Ki menengadahkan kepalanya ke atas sembari memejamkan matanya setelah ia menyudahi percakapan dengan ibunya lewat telepon. Ia menghembuskan nafasnya dengan berat. Ia merasa hari ini begitu melelahkan. Tentu bukan karena ia menerima panggilan telepon dari ibunya, melainkan pekerjaannya yang memaksanya untuk bekerja tanpa sempat istirahat sedetik pun.
joong-Ki kembali mengembuskan nafasnya dengan berat. Kali ini lebih panjang.
"Ada masalah apa?" Tanya seseorang, yang tidak lain adalah sahabatnya Lee Min-Woo
Tanpa perlu membuka matanya Joong-Ki sudah tahu siapa yang bertanya, "tidak ada apa-apa."
"Aku tahu dirimu. Posisi duduk seperti itu artinya kau punya masalah" sanggah Lee Min-Woo.
"Kang Se-Won menolak proposal kita." Kata Joong-Ki kemudian.
Lee Min-Woo membuka mulutnya sedikit lebar, pertanda ia kaget. "Lagi?" Lee Min-Woo mendengus kasar, "kali ini apa?" Tanyanya sedikit berang.
Joong-Ki tak bergeming. Sedangkan Lee Min-Woo sibuk mengutuk atasan mereka, Kang Se-Won.
"Kalau bukan karena dia anak Direktur Utama, oh tidak, bukan. Kalau bukan karena dia seorang perempuan, sudah aku hajar dia." Geram Lee Min-Woo. "Apa sih maunya?"
Bukannya menjawab pertanyaan Lee Min-Woo, Joong-Ki bangun dari duduknya dan mengambil jasnya.
"Sebaiknya kau juga pulang." Katanya kemudian sesaat sebelum melewati Lee Min-Woo, sembari menepuk halus pundak Lee Min-Woo.
"Hey!" Teriak Lee Min-Woo kesal.
"Sampai jumpa besok." Joong-Ki menyela Lee Min-Woo dan langsung menutup pintu ruang kerjanya. Sekali lagi ia menghembuskan nafas panjang sebelum ia memijit tombol lift.
Ini bukan pertama kalinya proposal timnya di tolak Kang Se-Won, tapi hari ini ia merasa pekerjaan dirinya dan tim benar-benar tidak dihargai oleh Kang Se-Won. Proposal yang ia buat bersama timnya sudah benar-benar menguras tenaga, pikiran, dan waktu. Bahkan ia dan timnya musti lembur hingga menginap di kantor dua hari berturut-turut, namun tanpa membuka sedikit pun map biru yang berisi proposal, Kang Se-Won menolaknya.
Ting. Pintu lift terbuka. Memaksa Joong-Ki menghentikan rasa kesalnya untuk berganti menjadi rasa waspada.
"Tidak akan masuk?" Tanya Kang Se-Won.
Tanpa berkata apa-apa Joong-Ki melangkahkan kakinya dengan berat untuk masuk ke dalam lift. Berat karena penyebab kegundahannya tepat berdiri di depannya. Dia merasa malas memikirkan harus berada dalam satu lift bersama Kang Se-Won meski tidak lebih dari tiga menit.
"Tunggu!" Teriak seseorang, dan mencoba menahan pintu lift yang hampir tertutup.
Ho, kau memang sahabatku, Min-Woo. Batin Joong-Ki saat tahu siapa yang menahan pintu lift.
Lee Min-Woo melirik ke kanan pada Kang Se-Woo yang sedang asyik dengan telepon genggamnya dan kemudian melirik ke kiri pada Joong-Ki yang hanya berdiri tegap menghadap pintu lift.
"Rasanya lift ini tidak bergerak." Ucap Lee Min-Woo tanpa bermaksud bicara pada siapa pun.
"Kenapa tidak kau keluar saja, kemudian turun lewat pintu darurat." Saran Kang Se-Won sinis.
"Eh?" Pekik Lee Min-Woo antara tak percaya dan sebal. Lee Min-Woo sudah membuka mulutnya, tapi tak lama pintu lift pun terbuka. Lee Min-Woo menggeser tubuhnya ke sisi Joong-Ki agar Kang Se-Won dapat keluar dari lift duluan. "Sampai jumpa." Kata Lee Min-Woo sembari sedikit membungkukkan badannya pada Kang Se-Won. "Aku benci dia." Sedetik setelah Kang Se-Won benar-benar meninggalkan mereka. "Ja! Sebaiknya kita pergi minum. Bagaimana?" Sambungnya pada Joong-Ki.
"Aku sudah ditunggu ibuku." Jawab Joong-Ki datar, memberi alasan.
"Ayolah. Kau pikir aku bodoh? Kau bukan anak sekolah. Kenapa ibumu harus menunggumu? Kau bahkan tinggal di apartemenmu sendiri."
Joong-Ki tersenyum kecut mendengar ocehan Lee Min-Woo. Ya, siapa yang akan percaya padanya, pria berusia tiga puluh tahun yang sudah tinggal sendiri selama tiga tahun tiba-tiba menolak ajakan temannya untuk minum dengan alasan ibunya menunggu.
"Aku serius. Aku harus ke rumah orangtuaku. Mereka menungguku."
"Sekarang?" Tanya Lee Min-Woo tak percaya. Ia melirik jam tangannya. "Ini sudah jam sepuluh lewat."
"Aku tahu." Jawab Joong-Ki singkat. "Ya, sampai jumpa besok." Sapa Joong-Ki sembari mulai berjalan ke arah yang berlawanan dengan Lee Min-Wo.
Sedikit mengebut Joong-Ki mengendarai mobilnya melintasi jalanan. Seoul di malam hari memang indah. Gelapnya malam yang dicahayai kerlap-kerlipnya lampu dari setiap gedung dan papan iklan di sepanjang jalan yang membuatnya indah. Karena itu lah iya memutuskan bekerja di perusahaan iklan dan beruntungnya ia diterima di perusahaan iklan terbaik di Seoul.
Namun kini ia tahu persis, bekerja di perusahaan iklan tidaklah seindah papan-papan iklan itu. Butuh proses yang panjang dan rumit untuk menghasilkan satu iklan yang luar biasa dari segala sisi. Setiap hari Joong-Ki dan timnya melakukan pertemuan perencanaan, membuat konsep iklan, mengatur proposal, mengajukan, pembuatan iklan, editing, dan lainnya. Pekerjaannya benar-benar pekerjaan yang membutuhkan mental baja. Pekerjaan yang penuh dengan tekanan.
"Joong-Ki, masuklah, Nak." Ujar seseorang dari intercom yang tidak lain adalah ibunya.
Hampir sebulan ia belum mengunjungi rumah orangtuanya ini. Ya, belum sebulan, tapi ia merasa sangat rindu dengan hangatnya rumah dan orangtuanya.
"Kamu terlihat lelah sekali, Nak." Ucap ibu Joong-Ki lirih. "Maaf kami memanggilmu tiba-tiba."
Joong-Ki tersenyum lembut sembari meremas halus jemari kanan ibunya. Ia sudah terlihat semakin tua. Tahun ini ia berusia 63 tahun.
Siapa pun yang melihat ibu Joong-Ki mereka tahu pasti, bahwa ibu Joong-Ki bukan lah orang Korea. Ya, iya orang Indonesia.
Maya Karmila atau Jung Soo-Hye adalah nama ibu Joong-Ki. Bertahun-tahun yang lalu, ia mendapat tugas dari universitas ia bekerja untuk mengajar di Universitas Seoul.
Seperti cerita cinta lainnya, Maya bertemu dengan Park Young-Chul. Mereka jatuh cinta dan kemudian menikah. Sepuluh bulan kemudian lahirlah Joong-Ki.
Joong-Ki dan pekerjaannya lah yang membuat Maya, ibu Joong-Ki memilih untuk menetap di Korea Selatan, meski sebetulnya ia memiliki seorang anak perempuan dari pernikahan sebelumnya di Indonesia.
"Aku harap kau mengerti. Toh ini semua demi kakakmu." Ucap ayah Joong-Ki dengan intonasi yang lembut namun tegas.
Bagi Joong-Ki perkataan Ayahnya seperti bom yang siap meledak jika Joong-Ki menolak permintaan Ayahnya.
"Apa Amirra nuna hamil?" Tanya Joong-Ki to the point.
"Tentu tidak!" Sanggah ibu Joong-Ki.
"Lalu kenapa tiba-tiba menikah?"
Tiba-tiba. Begitulah yang dirasakan Joong-Ki. Tiba-tiba orangtuanya meminta ia datang malam itu juga, tiba-tiba mereka memberitahukan bahwa kakak tirinya akan menikah, dan tiba-tiba ayahnya menegaskan bahwa ia harus ikut ke Indonesia besok malam.
"Walaupun tak ada hubungannya dengan kita, tapi kakakmu membutuhkan kita untuk bertemu dengan walinya lusa." Jawab Ibu Joong-Ki tanpa membuat Joong-Ki menjadi mengerti.
"Itu dia. Pernikahan Nuna tidak ada hubungannya denganku."
"Untuknya, Joong-Ki. Hanya satu kali seumur hidup, kau mengerti kan?!" Kata Ibu Joong-Ki.
Amirra Komara adalah kakak tirinya. Sebetulnya Joong-Ki tidak begitu dekat dengan Amirra. Hanya saja karena ia tahu bahwa ia adalah kakaknya, yang meskipun lebih memilih tinggal di Indonesia, maka dia harus bersikap baik.
Amirra memang baik. Justru sangat baik. Setiap kali ia berkunjung ke Korea, Amirra membawakan Joong-Ki banyak oleh-oleh. Amirra tidak pernah absen menyapa Joong-Ki setiap harinya via SMS, meskipun Joong-Ki hanya membalasnya sesekali. Ini karena Amirra tidak pandai berbahasa Korea, dan Joong-Ki terlalu malas jika harus berbahasa Indonesia. Kemapuan Bahasa Indonesia Joong-Ki sama di bawah rata-ratanya dengan kemampuan Bahasa Korea Amirra.
Usia Amirra dan Joong-Ki terpaut tiga tahun. Di Indonesia usia Amirra adalah 30 tahun sedangkan Joong-Ki 27 tahun. Karena cara berhitung usia yang berbeda maka di Korea usia Joong-Ki disebutkan 30 tahun, dan Amirra 33 tahun.
Malam ini ayah dan ibu Joong-Ki bilang Amirra akan segera menikah. Tentu ia senang mendengarnya. Tapi kalimat Ayah selanjutnya lah yang membuat Joong-Ki tidak begitu senang.
Ayah meminta mereka sekeluarga untuk berangkat ke Indonesia besok malam. Bahkan tiket pesawat pun sudah di pesan tanpa konfirmasi terlebih dahulu dengannya.
"Ayah, ini bukan karena aku tidak ingin pergi. Tapi ini terlalu mendadak. Ini baru Selasa, Ayah tahu aku sedang bekerja. Dan pekerjaanku..."
"E-hem." Ayah Joong-Ki berdeham. Tanda tidak ingin berdebat dan menolak argumen Joong-Ki mentah-mentah. Ya, ayah Joong-Ki memang kelewat otoriter dan arogan. Joong-Ki tahu itu. "Sudah malam. Sebaiknya kau tidur disini." Sambung ayah Joong-Ki sembari bangun dari duduknya.
"Ayah..." Panggil Joong-Ki.
"Besok kau pergi ke kantor untuk mengajukan cuti selama 3 hari." Sambungnya lagi sambil pergi meninggalkan Joong-Ki dan ibu Joong-Ki.
"Ibu, ini tidak masuk akal." Ucap Joong-Ki meminta pertolongan Ibunya. "Itu hanya perusahaan dimana aku bekerja, bukan perusahaanku." Tambahnya.
"Aku tahu." Ucap ibu Joong-Ki mencoba menenangkan anaknya. "Tapi aku yang memintanya untuk memohon padamu agar kamu ikut bersama kami."
Itu bukan memohon. Dengus Joong-Ki sembari melemparkan jasnya di atas kasur.
Sesuai instruksi Ayahnya, Joong-Ki menginap di rumah orangtuanya malam itu. Perasaannya kalut. Belum selesai urusannya dengan Kang Se-Won kini sudah ditambah dengan pernikahan kakaknya.
"Yang akan menikah itu Amirra. Kenapa aku harus ikut-ikutan?"
"Terima kasih." Ucap ibu Joong-Ki sembari tersenyum lembut kepadanya.
Joong-Ki yakin bahwa dirinya sudah gila. Persis seperti yang Lee Min-Woo katakan pada dirinya saat ia mengatakan akan pergi ke Indonesia.
"Kau gila!" Pekik Lee Min-Woo. "Tiga hari? Dan kemana kau bilang tadi?"
"Indonesia."
"Indonesia." Teriak Lee Min-Woo seakan-akan kata Indonesia adalah sebuah kata yang harus diucapkan dengan penuh semangat. "Apa yang akan kau katakan pada direktur Kang, huh?"
"Justru itu aku meminta kau yang mengurusnya."
"Kau... Kau benar-benar gila!" Erang Lee Min-Woo.
Yah aku benar-benar sudah gila. Batin Joong-Ki sembari membalas senyum ibunya.
Joong-Ki yakin betul bahwa kedua orangtuanya tahu bahwa permintaan mereka tidak masuk akal. Walaupun ayah memaksa, Joong-Ki pun tahu dia bisa saja menolaknya dengan tidak datang ke bandara. Ayah memang akan marah, tapi ia tahu Ayahnya tidak akan berlama-lama marah padanya.
Semalaman ia menimbang apakah ia harus ikut atau tidak. Dan akhirnya ia memutuskan untuk ikut mereka ke Indonesia.
Tidak semata-mata karena Ayah yang meminta dengan tegas, atau karena yang akan menikah adalah Amirra. Ini semua karena ibunya. Ia sangat mengetahui ibunya. Ibu Joong-Ki tidak pernah mudah meminta bantuan siapa pun dalam menyelesaikan masalah. Ia pribadi yang kuat dan mandiri, maka Joong-Ki tahu alasan mengapa ia meminta Ayah yang mengajak dirinya ke Indonesia.
Ini semua ibu Joong-Ki lakukan untuk Amirra. Anaknya yang tidak pernah bisa ia manjakan setiap waktu. Anaknya yang lebih memilih tinggal di Indonesia. Anaknya yang hanya bisa ia temui enam bulan sekali--itu pun jika tidak ada halangan. Anaknya yang tidak lama lagi akan benar-benar susah ditemuinya karena menikah.
Dan Joong-Ki ingin menyempurnakan keinginan ibunya yang bisa mengantarkan Amirra ke pelaminan.
"Sudah lama sekali." Ucap ayah Joong-Ki sesaat setelah masuk ke dalam mobil. "Hari ini aku ingin makan karedok." Sambungnya kepada ibu Joong-Ki yang kemudian tertawa.
"Aku tahu." Kata ibu Joong-Ki. "Amirra pun tahu. Ia sudah menyiapkannya khusus untukmu."
"Benarkah?" Tanya Ayah Joong-Ki girang.
Joong-Ki yang duduk di depan bersama supir yang dikirim oleh Amirra untuk menjemput mereka bertiga di bandara, hanya tersenyum melihat kegirangan Ayahnya.
Butuh waktu tiga jam setengah bagi mereka tiba di Bandung. Tempat dimana Amirra sudah menanti kedatangan mereka.
Joong-Ki ingat betul, Bandung dulu tidak seperti Bandung yang ia lihat kini. Banyak gedung tinggi, papan iklan terpasang dimana-mana, dan terlebih jalan layang yang sedang ia lewati kini adalah pertama kalinya ia lihat dan lewati.
"Ya, sudah lama sekali." Ucap Joong-Ki pelan. "Eomma, berapa lama kita tidak kemari?" Tanya Joong-Ki pada ibunya yang baru saja selesai mengakhiri pembicaraan dengan Amirra di telepon.
Ibu Joongki menaikkan alisnya, menyoba mengingat. "Aku rasa sekitar lima belas tahun."
"Lima belas tahun?" Pekik Joong-Ki sembari menolehkan kepalanya kebelakang. "Benarkah?" Tanya Joong-Ki yang ternyata berbarengan dengan ayahnya.
Amirra memeluk erat Ibu Joong-Ki. Terlihat disudut matanya ia menahan tangis. Ibu Joong-Ki pun melakukan hal yang sama.
"Ayah." Panggil Amirra setelah melepas pelukan Ibu dan kemudian memeluk Ayah. "Aku rindu Ayah, sungguh."
"Tentu, Nak. Ayah juga." Timpalnya sembari melepas pelukan Amirra dan kemudian mencium kening Amirra. "Mana karedok Ayah?" Candanya kemudian.
Tak terlewat Joong-Ki pun mendapat pelukan Amirra. Seperti biasa Amirra akan mencubit pipi kiri Joong-Ki.
"Nuna, aku sudah besar. Dan kau sudah melakukannya tiga bulan yang lalu." Ucap Joong-Ki sebal. Amirra hanya tersenyum jahil kemudian menggandeng lengan Joong-Ki.
"Kau sudah tinggi melebihiku, Joong-Ki." Ucap Amirra menggoda.
"Sudah dari usiaku yang ke tujuh belas".
"Benarkah?" Pekik Amirra pura-pura kaget. "Memangnya usiamu berapa sekarang?"
Mata Joong-Ki melotot. "Jebbal, nuna..." Mohon Joong-Ki.
Amirra memang selalu begitu. Menggoda Joong-Ki, seolah-olah usia mereka terpaut sepuluh tahun. Joong-Ki jelas tidak menyukainya. Namun Amirra sangat menyukainya.
"Terima kasih sudah datang," ucap nenek Amirra dengan suara gemetar, setelah acara makan siang mereka yang tertunda karena perjalanan Jakarta-Bandung yang memakan waktu
Ia benar-benar sudah tua. Lima belas tahun yang lalu, Ibu bilang usianya 74 tahun, berarti kini usianya sekitar 89 tahun. Semoga ia sehat selalu. Batin Joong-Ki dengan tatapan iba pada Nenek Amirra.
"Iya. Terima kasih sudah mau memenuhi permintaanku." Ucap Amirra menambahi ucapan neneknya. "Sungguh aku tidak bisa menahan rasa bahagia ini... Ayah, Ibu, terlebih Joong-Ki kalian mau datang dan membantuku. Sungguh ini benar-benar membuatku bahagia. Dan tentu aku juga bahagia akan menikah... Terlebih menemukan paman membuatku bahagia".
Kalimat terakhir Amirra lah yang membuat Joong-Ki bingung. Paman apa? Pikirnya dalam hati.
"Bagaimana kau menemukan mereka?" Tanya Ibu Joong-Ki. "Seperti mukjizat saat kau bilang kau bertemu pamanmu lebih dari sepuluh tahun kita kehilangan kontak keluarga almarhum ayahmu, Nak".
Joong-Ki mengamati pembicaraan Ibu, Amirra, dan nenek Amirra yang menggunakan bahasa Indonesia. Setengah mengerti Joong-Ki semakin penasaran dengan percakapan itu.
"Itu memang mukjizat." Amirra mengangguk-anggukan kapalanya dengan kuat. "Aku sedang di supermarket dengan nenek. Waktu itu aku sedang membayar belajaan kami, dan nenek duduk menungguku di dekat pintu keluar. Saat itulah aku melihat nenek sedang mengobrol dengan seorang pria yang ternyata paman."
"Aku hampir saja membuat Amirra kehilangan kontak yang kedua kalinya dengan Ediya." Sambung nenek Amirra.
Oh paman itu bernama Ediya. Batin Joong-Ki.
"Tapi tidak, Nek. Di waktu yang tepat aku datang." Timpal Amirra sembari menggengam jemari nenek Amirra. "Saat itulah aku minta no kontaknya. Dan kemarin lusa aku meneleponnya untuk meminta janji bertemu. Aku pikir ia bisa meluangkan waktunya pada hari Sabtu atau Minggu, tapi ternyata dia harus berangkat Ke Kalimantan pada Jumat pagi, maka ia memintaku bertemu hari ini."
"Ya, kita harus menemuinya. Dia wali kamu satu-satunya. Kita harus memintanya baik-baik, Amirra." Ucap Ayah.
Joong-Ki duduk sendiri di teras depan. Matanya memandang asal ke depan. Pikirannya sedang menerka-nerka kesana kemari. Saking sibuknya dengan pikirannya ia tidak sadar kalau Amirra sudah duduk di sebelahnya.
"Oh, kau bikin kaget saja." Dengus Joong-Ki.
Amirra menyipitkan matanya pada Joong-Ki. "Aku tidak melakukan apa-apa."
"Karena kau diam saja dan tiba-tiba duduk di sebelahku."
Amirra memanyunkan bibirnya. "Bagaimana kerjaanmu?" Tanya Amirra berkesan basa-basi.
"Berkat kau pekerjaanku berantakan."
"Benarkah?" Pekik Amirra. "Itu kabar baik, Joong-Ki." Goda Amirra. "Kau tidak akan menyesal ikut Ibu dan Ayah ke Bandung." Sambung Amirra sambil menyikut bahu kiri Joong-Ki dengan bahunya.
"Aku harap begitu." Jawab Joong-Ki. "Kenapa kau mendadak akan menikah?" Tanya Joong-Ki mengalihkan pembicaraan.
"Aku tidak mendadak menikah."
"Nuna, Kemarin aku masih bekerja seperti biasa di kantor, tapi tiba-tiba ayah menodongku untuk ikut ke Indonesia esok harinya. Apa kau pikir itu tidak mendadak?"
"Pernikahanku masih empat bulan lagi, aku rasa itu waktu yang wajar untuk menyiapkan pernikahan. Tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lama."
"Tunggu... Kau bilang empat bulan lagi?" Tanya Joong-Ki tidak dapat mencerna informasi yang baru saja dikatakan Amirra. "Ayah bilang malam ini kau akan menikah."
"Joong-Ki, yang benar saja. Mana mungkin malam ini aku menikah dengan wujud seperti ini?" Tanya Amirra sambil menunjuk seluruh tubuhnya sendiri dari kepala hingga kaki. "Kalau malam ini aku menikah, aku pasti sudah menggunakan gaun pengantin dan bermake-up, Joong-Ki."
Joong-Ki memerhatikan Amirra dari atas sampai bawah. Apa yang Amirra katakan benar. Sudah tiga jam dari semenjak ia tiba di Bandung ia baru sadar bahwa ia tidak melihat Amirra bermake-up atau bergaun indah seperti hendak menikah. Dan jika malam ini Amirra menikah, waktu mereka tidak banyak untuk merubah Amirra dari upik abu menjadi Cinderella. Itu mustahil.
"Tunggu, kalau kau menikah empat bulan lagi. Lalu... Aku kemari untuk apa?" Tanya Joong-Ki semakin kacau pikirannya.
Entah karena beban di pekerjaannya yang belum surut, atau karena ia lelah, dan juga perbedaan waktu antara Korea dan Indonesia, yang pasti ia merasa pusing dengan teka-teki pernikahan Amirra.
"Bertemu waliku."
Sudah cukup bagi Joong-Ki merasa bodoh karena sudah meninggalkan pekerjaannya dan terbang ke Indonesia mengikuti instruksi ayahnya, hanya untuk bertemu wali Amirra. Kini ia sudah berada di sebuah restoran di salah satu hotel di Bandung. Duduk dengan kikuk dan perasaan marah.
Ia tahu betul bahwa ia melakukan ini demi ibunya. Tapi yang ia maksud adalah mengantar Amirra ke pelaminan, bukan mengantar Amirra bertemu walinya.
"Kenapa ibu tidak bilang kita ke Indonesia untuk bertemu wali Amirra?" Bisik Joong-Ki pada ibunya.
"Kau lupa? Ibu bilang pada malam kau menginap di rumah."
Benarkah? Tanya Joong-Ki dalam hati. "Peranku apa disini? Untuk apa aku ikut bertemu wali Amirra? Yang membutuhkan wali itu dia bukan aku, Ibu."
"Karena kita keluarga. Karena ini Indonesia. Begini lah sopan santunnya."
Joong-Ki mengakhiri percakapan dengan ibunya sembari mendengus sebal. Ia merasa bahwa ini semua tidak penting baginya.
Ia jadi teringat saat kunjungan Amirra tiga bulan yang lalu. Saat itu Ayah menelpon Jong-Ki terus menurus untuk menyuruhnya pulang sebelum kekasih Amirra, Raka, dan orangtuanya tiba.
Joong-Ki ingat betul saat ia bilang kedatangan kekasih Amirra bersama orangtuanya tidak ada hubungannya dengan dirinya. Namun dengan tegas Ayah berteriak di telepon, "kau adiknya Amirra. Kau setengah Indonesia. Tunjukkan sopan santunmu dengan datang kemari sebelum pukul tujuh malam."
Saat itu Joong-Ki menancapkan gas mobilnya secepat ia bisa agar tidak terlambat. Namun ternyata Amirra, Raka dan orangtuanya terlambat. Seperti sekarang ini. Wali Amirra terlambat.
Sudah hampir setengah jam ia dan keluarganya duduk menunggu wali Amirra di restoran ini. Dan mereka belum juga datang.
Joong-Ki yang sedari tadi menahan diri untuk tidak mengomel pada Ayah dan Ibunya, semakin marah dengan keterlambatan wali Amirra. Ia benar-benar ingin pergi dari situ dan terbang kembali ke Korea. Menyelesaikan urusannya dengan Kang Se-Won mengenai proposal timnya yang ditolak mentah-mentah.
"Maaf, kami terlambat." Ucap seseorang di balik punggung Joong-Ki. Tanpa menoleh Joong-Ki sudah yakin bahwa pemilik suara berat itu adalah milik wali Amirra.
"Oh, tidak. Tidak apa-apa." Sahut Ayah Joong-Ki. "Silahkan."
Apanya yang tidak apa-apa. Aku tahu sekali Ayah tidak mentorelir keterlambatan. Sungut Joong-Ki dalam hati. Toleransi keterlambatannya hanya untuk orang Indonesia sepertinya. Sambung Joong-Ki masih dalam hati.
"Apa kabar, Mas?" Tanya Ibu Joong-Ki pada pria paruh baya itu.
"Baik. Baik." Jawabnya cepat. "Perkenalkan ini istri saya dan anak saya."
Mereka bergantian bersalaman. Joong-Ki pun mendapat giliran bersalaman.
Wali Amirra. Pria paruh baya yang usianya diatas Ibunya bernama Ediya. Istrinya mungkin sekitar lima tahun lebih muda dari Ibunya bernama Dinar. Anak perempuannya mungkin sepuluh tahun di bawah Joong-Ki bernama Shafiya.
Joong-Ki memperhatikan Shafiya dengan seksama. Gadis mungil yang kini duduk di depannya menggunakan syal di kepala yang sama seperti yang sering digunakan ibunya. Ibu Joong-Ki pernah bilang namanya adalah hijab.
Mata Joong-Ki menyipit memperhatikan Shafiya lekat-lekat. Joong-Ki merasa ada yang kurang pas dengan gadis mungil di depannya.
Sepanjang makan malam, Joong-Ki terus menerus memperhatikan Shafiya, meski sesekali ikut menjawab pertanyaan-pertanyaan basa-basi yang dilontarkan kepadanya.
"Hebat yah kamu, baru 21 tahun udah banyak pergi ke berbagai tempat." Puji Amirra pada Shafiya.
"Ah!" Pekik Joong-Ki yang tanpa sadar membuat kakak dan Shafiya yang duduk di depannya melirik padanya.
Dering telepon genggam Joong-Ki menyelamatkan tatapan sebal Shafiya. Ya. Sedari tadi Joong-Ki tahu betul bahwa apa yang dilakukannya membuat Shafiya tidak nyaman. Hanya saja ia sendiri tidak bisa berhenti memperhatikan Shafiya.
"Hallo? Tunggu..." Jawabnya. "Permisi, aku harus menerima panggilan ini." Pamit Joong-Ki menggunakan bahasa Korea sembari memandang pada ayahnya, yang kemudian dijawab dengan anggukan halus dari Ayah Joong-Ki. "Permisi." Pamit Joong-Ki pada semua orang yang ada di hadapannya kemudian.
Joong-Ki menjauhi meja makan dan memilih tempat untuk melanjutkan menerima panggilan telepon dari sahabatnya, Lee Min-Woo. "Ya?" Tanya Joong-Ki kemudian.
"Ya?" Lee Min-Woo balik mengulangi pertanyaan Joong-Ki dengan sebal. "Hanya itu?"
"Ada apa? Kau melakukan panggilan internasional. Ada hal penting?" Tanya Joong-Ki langsung.
Terdengar desahan Lee Min-Woo diseberang sana. "Penting? Entahlah. Mungkin bisa dibilang penting."
"Apa itu?"
"Direktur Kang mencarimu. Dia bilang tidak bisa menghubungimu. Aku katakan kau sedang merasa tidak enak badan, dan mengambil cuti sakit sehari..."
"Aku bilang tiga hari." Potong Joong-Ki.
Lee Min-Woo berdeham sebal. "Kemudian direktur Kang bilang... 'Dua hari. Hari ini dan besok. Senin dia harus ada di hadapanku dengan segudang ide untuk pre-wedding anak Direktur Utama, Kang Jung-Man'."
"Ide untuk apa kau bilang?" Tanya Joong-Ki merasa apa yang di dengarnya salah.
"Itu yang ingin aku tanyakan." Jawab Lee Min-Woo. "Apa maksud Direktur Kang? Kenapa kita mengurusi pernikahan Kang Jung-Man? Lagi pula siapa itu Kang Ju-Man? Dia bilang dia anak Direktur Utama, anak yang mana? Bukankah anaknya hanya Kang Se-Won? Si wanita gila..."
Lee Min-Woo terus menyerocos tentang Kang Se-Won, Joong-Ki tidak benar-benar mendengarkan ocehan Lee Min-Woo. Ia sibuk mengerutkan keningnya. Seakan sakit kepala ia memijat keningnya. Berusaha menyusun puzzle yang diberikan Direktur Kang melalui Lee Min-Woo.
"Hari ini kau tidak mengacau kan?" Todong Joong-Ki.
"Hey!" Geram Lee Min-Woo.
Joong-Ki menjauhkan telpon genggamnya dari telinga. Bentakan Lee Min-Woo nyaris membuat telinga Joong-Ki berdenyit.
"Dengar. Kau harus kembali menemui Direktur Kang dan..." Ucapan Joong-Ki tertahan. Ia melihat Shafiya berjalan ke arahnya.
"Permisi." Ucap Shafiya sembari menunjuk wastafel di belakang Joong-Ki.
"Oh?" Joong-Ki menoleh ke arah yang ditunjuk Shafiya. "Oh, ya. Silahkan." Lanjutnya setelah melihat apa yang dimaksud Shafiya, Joong-Ki membawa tubuhnya sedikit menjauhi wastafel.
"Hallo? Kau bilang apa? Itu bahasa Indonesia yah?"
"Ya." Jawab Joong-Ki cepat. "Dengar. Kau harus menemui Direktur Kang dan bilang padanya kita tim kreatif untuk iklan bukan pernikahan."
"Apa katamu?" Bentak Lee Min-Woo. "Kau ketua timnya! Aku hanya staff. Staff! Kenapa harus aku? Kenapa?"
"Ayolah... Kau wakil ketua tim. Kau yang ambil alih semuanya selagi aku tidak ada."
"Tetap saja..."
"Satu lagi, aku tidak akan kembali hari Senin. Bilang pada Direktur Kang Selasa aku akan menghadapnya."
"Ya! Park Joong-Ki!"
"Kerjakan. Itu perintah. Aku tutup teleponnya." Ucap Joong-Ki cepat dan benar-benar mematikannya.
Joong-Ki menghembuskan nafas panjang. Dua hari ini adalah hari terburuknya sepanjang tahun ini.
Ia melihat Shafiya yang selesai mencuci tangan dan melewatinya. Tanpa disadari Joong-Ki memanggilnya.
"Hey!" Panggilnya.
Shafiya menghentikan langkahnya dan menoleh perlahan ke arah Joong-Ki. "Aku?" Tanya Shafiya sambil menunjuk hidungnya dengan telunjuk kanannya. "Apa?" Tanya Shafiya setelah melihat anggukan kepala Joong-Ki.
Joong-Ki mengamati Shafiya dengan seksama. Matanya menjelajahi Shafiya dari atas sampai bawah.
"Maaf. Tapi tidak seharusnya kamu melihatku seperti itu." Ucap Shafiya tegas. "Aku tidak suka."
"Oh maaf." Joong-Ki buru-buru meminta maaf. "Hanya saja... Kau tidak terlihat sudah menikah."